Dalam hiruk-pikuk pemberitaan media mengenai terorisme belakangan ini, ada satu anomali yang sangat mengganggu siapa pun yang memiliki akal sehat. Ada wacana yang terus disuarakan secara bersahutan oleh tokoh-tokoh Muslim bahwa terorisme merupakan tindakan jahat yang bertentangan dengan norma agama apa pun, termasuk Islam.
Sementara itu, ada antusiasme dan pekik takbir dikumandangkan masyarakat pada saat menyambut kedatangan jenazah Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (dua teroris yang ditembak Tim Detasemen Khusus 88 dalam operasi di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat). Di depan rumah Eko bahkan terpasang sepanduk bertuliskan “Selamat Datang Pahlawan Islam”. Seolah mengonfirmasi kebenaran isi spanduk itu, pengasuh pondok pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo Abu Bakar Ba’asyir mengatakan, insya Allah Eko mujahid. Artinya, Ba’asyir menganggap Eko adalah pejuang Islam.
Fenomena di atas membuktikan masih terdapat masalah yang cukup krusial dalam upaya pemberantasan terorisme, antara lain menyangkut soal definisi dan persepsi mengenai jihad dan terorisme. Ada kalangan yang secara tegas menolak anggapan teroris sebagai mejahid (orang yang berjihad di jalan Allah), tapi ada pula yang menganggap sebaliknya. Fakta ini tak bisa kita tutup-tutupi.
Secara definitif, apa dan bagaimana jihad dalam Islam sebenarnya tidak mengandung pertentangan yang tajam. Pada umumnya ulama dari kalangan mana pun setuju bahwa jihad berarti berperang di jalan Allah. Dan, berperang di jalan Allah itu sinonim dengan berperang untuk keadilan (justice).
Definisi tersebut diambil dari penegasan al-Quran: perangilah mereka sehingga tidak ada lagi penindasan, dan yang ada hanya keadilan dan keimanan kepada allah (QS, 2:193) Seluruhnya dan dimana saja (QS, 8:39). Dan kenapa kamu tidak berperang di jalan Allah. Dan untuk mereka yang lemah laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berkata “Tuhan, keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya zalim; dan berilah kami dari pihak-Mu orang yang dapat menjadi pelindung, dan berilah kami dari pihak-Mu penolong.” (QS, 4:75).
Dengan demikian, makna jihad yang relatif disepakati adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk melawan penindasan, kezaliman, dan ketidakadilan –kapan pun dan dimana pun—demi membela/melindungi orang-orang yang tertindas –siapa pun mereka (Chaiwat Satha Anand, dalam Islam tanpa Kekerasan, 1998:12).
Islam Radikal Vs Islam Moderat
Pertentangan tajam terjadi pada saat, pertama, bagaimana cara mengimplementasikan jihad, dan kedua, pada situasi seperti apa seseorang atau suatu masyarakat bisa dianggap tertindas dan terzalimi.
Di kalangan umumnya gerakan Islam Salafi Radikal, jihad harus diimplementasikan dengan jalan perang, baik secara terbuka maupun dengan taktik gerilya. Implementasi semacam ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang menegaskan, apabila di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan, apabila tidak mampu (dengan tangan) dengan lisan, apabila tidak mampu (dengan lisan) dengan hati.
Makna “tangan” disepakati bermakna kekuatan, yang menurut aktivis gerakan Islam Salafi Radikal berarti kekuatan senjata, artinya melalui jalan perang. Dan, dalam situasi apa pun perang bisa dilakukan, meskipun dengan taktik yang berbeda. Bagi mereka, teror merupakan bagian dari taktik perang (gerilya).
Bagi kalangan aktivis gerakan Islam Moderat, jihad tidak harus diimplementasikan dengan perang. Makna “tangan” dalam hadits Rasulullah SAW di atas berarti kekuatan teknologi yang tak identik dengan senjata. Kalau pun harus dilakukan dengan mengangkat senjata (perang) tak bisa dilakukan dengan semena-mena. Aksi teror yang bisa membunuh siapa pun tanpa kecuali jelas bertentangan dengan etika berperang dalam Islam. Itu yang pertama.
Kedua, tentang persepsi masyarakat tertindas dan terzalimi. Bagi aktivis gerakan Islam radikal, situasi Indonesia sekarang ini (sebagaimana masyarakat Muslim pada umumnya) berada dalam situasi tertindas dan atau diperlakukan secara tidak adil. Masyarakat Muslim ditindas dan dizalimi oleh Barat yang diwakili rezim Amerika Serikat beserta para sekutunya.
Sementara bagi aktivis gerakan Islam Moderat, masyarakat Muslim sekarang ini tidak mengalami penindasan, malah berada pada situasi yang mengarah pada kebangkitan kembali (renaissance), bahkan suasana kebangkitan itu terjadi pula di Amerika Serikat sebagaimana diakui Syamsi Ali, warga negara RI yang bermukim di AS dan menjadi imam besar Masjid New York. Uniknya, pesatnya perkembangan Islam di AS justeru terjadi pasca tragedi 11 September 2001 yang dianggap sangat mendiskreditkan Islam.
Karena itulah, umumnya aktivis gerakan Islam Moderat tidak percaya dengan aksioma “Benturan Peradaban” yang dikampanyekan Samuel Huntington yang secara jelas menggambarkan “benturan” Islam versus Barat.
Kalau pun ada situasi ketertindasan dan ketidakadilan pada saat ini maka siatuasi itu tak ada kaitan dengan agama tertentu. Artinya, objek ketertindasan dan ketidakadilan bisa menimpa siapa pun, begitu pun subjeknya, bisa dilakukan siapa saja. Cara menanggulanginya, yang paling efektif adalah dengan mereduksi kesenjangan sosial dan penagakkan hukum
.
Etika Berperang
Meskipun aktivis gerakan Islam Moderat memaknai jihad bukan sebagai perang, bukan berarti dalam Islam tidak boleh berperang (qital). Pada situasi konflik terbuka perang bisa dilakukan, terutama pada situasi diserang seperti yang dilakukan Muslim Irak dan Afghanistan pada saat diinvasi tentara AS dan sekutunya.
Pada situasi demikian, Islam membolehkan, bahkan mengharuskan perang, tentu dengan sejumlah catatan. Dalam berperang ada etika yang harus dijunjung tinggi.
Pada saat mengirim pasukan perang, sahabat utama Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, memberikan rambu-rambu etika kepada setiap komandan tempur yang dipercayainya, antara lain:
- Tidak boleh membunbuh wanita
- Tidak boleh membunuh anak-anak
- Tidak boleh membunuh orang yang lanjut usia
- Tidak menebang pohon yang sedang berbuah
- Tidak merobohkan bangunan
- Tetap menjaga kejujuran
- Tidak boleh mengganggu orang-orang suci dan para pemuja dari agama-agama lain
- Tidak boleh menghancurkan tempat-tempat ibadah; dan
- Tidak boleh menghancurkan tempat-tempat yang padat penduduknya. (Majid Ali Khan, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, 2000: 46).
Di luar misinterpretasi tentang jihad dan situasi ketertindasan dan ketidakadilan, apa yang dilakukan para teroris (antara lain Noordin M Top dan jaringannya), yang mengimplementasi taktik perang (gerilya) itu sangat jelas bertentangan dengan etika perang dalam Islam.
Untuk mereka yang menyangka dirinya berbuat baik, padahal yang terjadi adalah sebaliknya, Allah SWT mengingatkan: “Katakanlah: Maukah kamu, kami beri tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatanya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedang Mereka mengira; bahwa Mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (QS. 18: 103-104).
Untuk mereka yang menyangka dirinya berbuat baik, padahal yang terjadi adalah sebaliknya, Allah SWT mengingatkan: “Katakanlah: Maukah kamu, kami beri tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatanya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedang Mereka mengira; bahwa Mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (QS. 18: 103-104).
Dengan begitu, apakah kita masih menganggap para teroris itu pahlawan Islam?
Apakah kita juga bisa mengatakan bahwasanya mereka yang melakukan teror di negeri yang damai dengan mengatasnakan ISLAM bisa di katakan ISLAM sesungguhnya?....
Apakah kita juga bisa mengatakan kalau mereka itu (Para TERORIS yang mengatasnakan AGAMA) bisa dibenarka?.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar